#2 Bincang Kereta

By Iksaan.ae@blogspot.com - 15.07


"Rasanya kita perlu melihat, mendengar, atau bahkan merasai masalah orang lain. Dengan begitu, kita tahu, bahwa masalah kita belum ada apa-apanya."

***

"Kehadiran seseorang dalam hidup kita bukan perkara waktu. Bukan masalah lama tidaknya, singgah atau menetapnya. Namun, tentang bagaimana ia memberi arti, memberi satu bagian terbaik dari  hidupnya untuk menjadikan kita lebih baik lagi dari hari ke hari."

-
-

Lelaki yang sedang kita ceritakan masih sama, masih lelaki kemarin, yang masih belajar dalam menempa diri untuk jadi dewasa. Dalam perjalanannya, ia sadar, bahwa rasanya ia perlu mengabadikan orang-orang yang berperan penting dalam hidupnya. Salah satunya wanita, wanita yang melabeli dirinya kuat, wanita yang tak mudah menjatuhkan air matanya untuk seorang pria. Ia mengajari bagaimana menilai suatu masalah. Bagaimana caranya agar kita tak terlalu tenggelam dalam sebuah luka. Lelaki itu tak ingin bercerita panjang lebar perihal pertemuan. Namun, ia akan bercerita bagian terbaik dari sebuah perbincangan. Setelah berembuk dengan isi kepalanya yang ramai. Maka judul cerita ia sepakati; "Bincang Kereta."

Bincang kereta bermula ketika suasana hati tak lagi seirama dengan isi kepala, pun ketika patah hati menjadi topik utama dalam sebuah cerita. Masing-masing mereka menjadi pendengar yang baik, kadang juga menjadi pembicara yang paling bijak. Mereka bak sepasang manusia yang tahu kapan waktunya saling ada.

****
Saat itu, cuaca sedang terik-teriknya. Padahal ada kereta pagi, namun saya memilih kereta keberangkatan siang. Alasanya sederhana, sebab yang sebentar-sebentar itu berkesan, yang terlalu lama itu bakal bosan. Kami sadar bahwa perbincangan kami terbatas oleh rute kereta. Namun, itulah yang menantang, bagi kami  berbincang di cafe pun terlalu biasa.

Setelah menunggu sejam, akhirnya wanita itu sampai. Ia mengenakan setelan serba pink, dari baju sampai jilbab, namun di padu dengan jaket hitam. Ada kesan cerah, namun tetap menampakan sisi gelapnya. Tak lama ia sampai, kereta sudah harus berangkat. Kami pun berjalan ke gerbong kereta yang tertera di tiket. Desak-desakan di kereta sudah menjadi hal yang lumrah. Namun beruntung kami mendapatkan tiket duduk, tidak berdiri. Gak lucu kan jika kami harus berbincang sambil berdiri di  kereta, desak-desakan pula.

Setelah menemukan kursi yang tertera di tiket kami pun duduk saling berhadapan. Ada jeda sebentar sebelum  kami memulai topik pembicaraan. Setelah bergelut dengan pikiran masing-masing, akhirnya kami saling membuka cerita, berawal dari saya. Tak banyak yang saya ceritakan, hanya sepenggal kisah yang sudah berulang-ulang ia dengar, sepenggal kisah yang sama, orang yang sama, bahkan keadaan yang tak jauh berbeda. Ia pun hanya mendengus sebal. Ia pun melontarkan tanya: Kenapa masih terjerembab kisah lama? Padahal sudah jelas arahnya ke mana? Kenapa masih bertahan pada keadaan yang sudah jelas menyakiti secara perlahan?

Rasanya kamu perlu menelik kisah orang lain, bahkan merasai. Dengan begitu, kamu tahu, bahwa masalahmu, belum ada apa-apanya.

Sejurus kemudian ia pun langsung membuka cerita, dari mulai keluarga, soal kawan, sampai percintaan. Tapi yang paling menarik adalah soal percintaan. Ternyata ia bukan wanita kuat yang tampak pada luaran, ia seorang wanita biasa, yang memiliki sisi sensitif dalam dirinya. Sepintar apapun ia mengenakan topeng bahagia, tetap saja ada bagian dalam dirinya yang merasa terluka.

Kisahnya bermula ketika pertahanannya sedikit goyah, oleh seorang lelaki yang tak pernah berkata tidak atas kemauannya, seorang lelaki yang pintar menempatkan dirinya, mengejar tapi tak tampak sedang mengejar. Lelaki yang dengan mudah jadi sosok yang selalu ada, namun dengan mudah pula menghilang tanpa kabar membuat tanda tanya.

Berjalannya waktu, lelaki itu berhasil membuat ia luluh. Bagaimana tidak? Mereka tak menjalin suatu hubungan, namun dengan keluarga, ia sudah diperkenalkan. Tak ada yang lebih baik, selain di sambut hangat oleh keluarga seseorang yang menjadi dambaan. Ia rasai lelaki ini benar-benar baik, namun bukankah hubungan harus ada kejelasan? Ia sadar bahwa ia wanita, ada ego yang mengalahkan sebuah rasa. Ia tak mungkin memulai sesuatu, yang ia bisa hanya menunggu dan menunggu. Menunggu kabar, tanpa ingin lebih dulu memberi kabar.

Namun bukankah hubungan harus diperjuangkan sama-sama? 

Lagi-lagi kata "Ego" atas sebuah gengsi mengalahkan segalanya. Di ujung perjuangan, lelaki itu menyerah. Ia tak lagi memberi kabar, ia tak lagi sehangat dulu, ada rasa lelah atas perjuangan yang ia rasai sendiri, yang berujung pada hilangnya rasa di kemudian hari.

Memang menyebalkan, ketika sudah berusaha membuka hati, malah ditinggal pergi. Sudah ada rasa sayang, namun ia memilih hengkang.

Di ujung perbincangan, ia terlihat sedikit menyesal. Menyesal karena tak menurunkan sedikit saja egonya. Mungkin, jika ia mau memulai terlebih dahulu, ceritanya bisa beda. Namun waktu tak bisa diputar kembali. Ia percaya, bahwa segala yang terjadi memiliki tujuan baik di kemudian hari. Begitu pun untuk sang lelaki itu, lelaki yang dengan gampangnya menyerah, padahal sudah terbuka lebar pintu hati untuknya

Menjadi penyudah pada kisah yang baru terjalin mesra adalah pendosa yang baik. Bagaimana tidak? ia menoreh kisah pada luka lama yang sedang butuh penawar. Sedang butuh hangat peluk agar kepiluan menemukan tempat bersandar.
Mengobati, menyembuhkan, lalu  meninggalkan.

Sesederhana itu, sekejam itu.

Tanpa terasa perjalanan sampai pada ujungnya, kereta melambat, lalu berhenti di pemberhentian stasiun terakhir, stasiun kota  Pariaman. Kami pun keluar, kemudian berjalan menuju arah pantai, menikmati pemandangan, sekaligus mencairkan pikiran.

****








  • Share:

You Might Also Like

0 komentar